Suara Blog Pinggiran

Harga Beras Merangkak Naik



KULONPROGO – Harga beras di sejumlah pasar tradisional di Kulonprogo mulai merangkak naik. Kenaikan harga berkisar antara Rp 600 hingga Rp 1.000 per kilogramnya. Diduga, kenaikan ini akibat dampak kemarau panjang yang menyebabkan banyak daerah mengalami gagal panen.
Salah satu pedagang beras Suprapto mengatakan kenaikan beras ini mulai dirasakan dalam beberapa hari belakangan. Menyusul berkurangnya pasokan dari distributor yang mengirim beras. Informasi yang ada distributor kesulitan untuk mendapatkan beras di luar daerah. Penyebabnya karena tidak ada air yang menyebabkan gagal panen.
”Di luar daerah banyak yang gagal panen, sehingga harga ikut naik,” jelasnya.
Menurutnya, kenaikan ini terjadi secara bertahap. Setiap kulakan terjadi kenaikan Rp 100 sampai dengan 200 rupiah per kilogramnya. Kenaikan tertinggi terjadi pada padi lokal dengan kenaikan mencapai Rp 1.000 per kilogramnya.

SBY Jual Blok Cepu Negara Rugi 30 Tahun

Biar pun hanya sebagai staf ahli menteri, Rizal bahkan bisa memastikan pencopotan direksi Pertamina. Dia pula yang menjadi “wakil” Pertamina, berunding dengan ExxonMobil untuk mengurus pengelolaan Blok Cepu, ladang minyak dengan cadangan minyak terbesar di negeri ini. Hasilnya: Blok Cepu diserahkan ke ExxonMobil.

BERSAMA Lin Che Wei dan M. Ikhsan, Rizal tercatat pernah “mewakili” PT Pertamina untuk merundingkan Kontrak Kerja Sama Blok Cepu antara Pertamina dengan ExxonMobil Oil Indonesia. Perundingan mereka menghasilkan keputusan kontroversial yang mengejutkan banyak pihak, karena Blok Cepu kemudian benar-benar diserahkan kepada ExxonMobil dengan kontrak selama 30 tahun sejak Maret 2006. Perusahaan Amerika itu mengeksploitasi Blok Cepu lewat anak perusahaannya, Mobil Cepu Ltd.
Kontroversi itu terutama karena penyerahan Blok Cepu kepada ExxonMobil dinilai telah melanggar Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Migas. Keikutsertaan Rizal dkk. yang “mewakili” Pertamina dalam negosiasi itu, oleh Sony Keraf, anggota PDIP, bahkan disebut sebagai bentuk intervensi pemerintah yang berlebihan. Alasan Keraf penyerahan Blok Cepu kepada Exxon, tidak atau tanpa melalui RUPS sebagaimana diatur oleh UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Mewakili suara PDIP, Keraf karena itu mencurigai ada campur tangan asing yang kuat melobi pemerintahan Yudhoyono. Hal itu tecermin dari kuatnya lobi-lobi pemerintah Amerika Serikat dan petinggi ExxonMobil terhadap pemerintah Indonesia (lihat “FPDIP: Akuisisi Blok Cepu oleh Exxon Melanggar Hukum,” detikcom, 4 Maret 2006).
Blok Cepu adalah ladang minyak yang berada di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Itu adalah ladang minyak terbesar di Tanah Air, setidaknya hingga sekarang. Kandungan minyaknya tercatat melampaui cadangan minyak di Indonesia secara keseluruhan yang diperkirakan hanya berjumlah sekitar 9,7 miliar barel. Cadangan prospektif Blok Cepu di kedalaman kurang dari 1.700 meter misalnya, mencapai 1,1 miliar barel sedangkan cadangan potensial di kedalaman di atas 2.000 meter diperkirakan berjumlah 11 miliar barel.
Lembaga Minyak dan Gas atau Lemigas, sebuah lembaga studi yang menjadi bagian dari Akademi Minyak dan Gas, Cepu, pernah mengungkapkan, Banyu Urip, Sukowati, Jambaran dan Alas Tua- nama sumur-sumur di Blok Cepu- menyimpan kandungan minyak mentah hingga 1,4 miliar barel. Di Blok Cepu pula terdapat kandungan cadangan gas sebesar 8,772 triliun kaki kubik.
Dengan kekayaan sebesar itu, menurut studi Lemigas, pengelola ladang minyak Blok Cepu dapat mengangkat minyak mentah minimal sebesar 31 persen atau setara dengan 458,7 juta barel. Sedangkan untuk gas, yang bisa diangkat sebesar 72 persen.
Warsito, Research Scientist, The Ohio State University, yang juga Ketua Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia pernah mengungkapkan, awalnya ladang minyak itu diusahakan oleh PT Humpuss Patra Gas melalui technical assistance contract atau disingkat TAC dengan Pertamina. Karena alasan tidak memiliki pendanaan yang cukup untuk mengeksploitasi cadangan minyak di blok itu, Humpuss melepas 49 persen sahamnya kepada Ampolex. Penjualan saham itu terjadi menjelang keruntuhan Pemerintahan Soeharto pada tahun 1997.
Ampolex adalah perusahaan minyak yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh ExxonMobil. Ada pun ExxonMobil merupakan perusahaan gabungan Exxon dan Mobil, yang didirikan oleh John D Rockefeller, konglomerat minyak dari Amerika yang menguasai banyak tambang minyak di banyak negara.
Kontrak TAC Humpuss lalu berubah menjadi TAC plus karena melibatkan investor asing. Zuhdi Pane yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Pengelolaan dan Pengawasan Kontraktor Asing Pertamina mengatakan, pelibatan investor asing dalam TAC sebetulnya tidak diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan. Namun karena pendekatan yang dilakukan kepada pemerintahan Soeharto, Ampolex berhasil diloloskan.
Diketahui belakangan seluruh saham Humpuss di Blok Cepu telah diambil sepenuhnya oleh Exxon, lagi-lagi melalui Ampolex. Perusahaan ini kemudian merger dengan Exxon menjadi ExxonMobil. Sejak itulah, pengelolaan Blok Cepu terus menjadi rebutan mereka.
Apalagi mulai 2010, pengelolaan atas Blok Cepu sudah harus diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina 100 persen, menyusul berakhirnya kontrak perusahaan asing atas ladang minyak tersebut. Mengutip Petroleum Report 2003, yang dikeluarkan Kedutaan Besar Amerika, menurut Warsito penyerahan Blok Cepu kepada Pertamina itu sesuai dengan berlakunya UU Migas No. 22 tahun 2001, yang menyatakan TAC yang ada tidak bisa diperpanjang lagi.
Tentu saja ExxonMobil paham betul soal itu. Mereka karena itu menempuh berbagai upaya untuk mendekap Blok Cepu. Lalu lolosnya ExxonMobil mengelola Blok Cepu, menimbulkan spekulasi bahwa perusahaan itu telah melobi Washington agar menekan Jakarta untuk melakukan amendemen UUD 1945 yang menyangkut pasal-pasal pengelolaan kekayaan alam Indonesia. Sebuah spekulasi yang niscaya sulit diurai kejelasannya.

ExxonMobil vows oil, gas will help empower Bojonegoro people

Local communities and administrations are questioning the social benefit of oil and gas exploration on the border between East and Central Java, three years after ExxonMobil Ltd began operations in the region.
Villagers at each of the four exploration sites in Banyu Urip, Ngasem, and Bojonegoro have taken to the streets in protest at employment policies adopted by the Oil and Gas Implementing Agency (BP Migas).
They accuse BP Migas of underemploying local workers in local infrastructure development projects.
Supporting the protests, local regency administrations have asked both BP Migas and ExxonMobil to give priority to local workers, in accordance with their skills.
ExxonMobil spokeswoman Deva Rahman asked the public to consider the joint operating agreement carefully.
Saying she was shocked by the protests, Deva argued Pertamina and BP Migas were responsible for handling infrastructure development projects in the contract area.
"Physical development is the domain of BP Migas. We handle oil and gas exploration," she told The Jakarta Post recently, adding ExxonMobil was strongly committed to its corporate social responsibility (CSR) program, including employing locals and empowering local partners and furthering investment in oil and gas exploration.
"Just as we do in other developing countries worldwide, ExxonMobil will help improve health, education and economic growth in and around our contract areas in the two provinces," she added.
The U.S.-based energy holding company signed a joint operating agreement (JOA) with state-owned oil and gas company Pertamina for the Cepu contract area back in September 2005.
According to the JOA, Pertamina and ExxonMobil each hold a 50-percent interest in the Block Cepu contract, with an eventual 10-percent holding by a regional entity representing the two provinces' administrations.
Two ExxonMobil subsidiaries, Mobil Cepu Ltd. and Ampolex Cepu Ltd. (MCL), are currently exploring the 1.670-square-kilometer oil and gas fields in Banyu Urip, Sukowati, Jambaran and Alas Tua.
Discovered in March 2001, Banyu Urip is believed to contain more than 250 million barrels of oil, with the field expected to produce up to 165,000 barrels of oil per day, at peak production.
MCL spokesman Primantoko said his company's corporate social responsibility program looks to improve health, education and economic growth in Bojonegoro regency.
His company is in the midst of studying proposed development programs to help empower local communities in all regencies covered by MCL's core operations, he added.
"The community development program has to be designed jointly with recipients, to make it useful for the public at large. We began it long before the oil and gas fields started production," Primantoko said.
As examples, Primantoko cited MLC's construction of a public clinic in Gayam village and public polyclinics in Ngringinrejo and Sumber Tlaseh villages, the latter requested by locals.
MLC also assists farmers in pumping water from the Bengawan Solo river to irrigate farmlands, in addition to helping them start a traditional market to spur growth in the regency's agriculture sector.
With respect to education, starting this November, MCL will pay for 500 one-year subscriptions to The Jakarta Post and Newspaper in Education (NIE), as part of its contribution to six junior high and high schools in the regency, he added.
MCL's acting public affairs manager Rexy H. Mawardijaya said the CSR program was based on environmental impact studies (Amdal) related to oil and gas exploration that were conducted jointly with the government and an independent institution.
Separately, a local environmentalist criticized the government and ExxonMobil for promoting the minor benefits of oil exploration to locals while hiding its negative impacts on the environment.
"Apart from polluting the air, oil and gas exploration is believed to exacerbate drought because it will require ground and river water to drive pumps in the oil fields," chairman of the Indonesian Forum for the Environment's (Walhi) East Java Branch Bambang Catur Nusantara said.
He urged the government and ExxonMobil's subsidiaries to make all necessary preparations for handling environmental problems caused by exploration.
Bojonegoro Regent Suyoto said his government has prepared for all positive and negative impacts of exploration on the local community, the government's economic programs and the environment.
"We have implemented several regulations on employment, education, health and economic contributions to maximize the benefits and avoid negative impacts from mining," he added, when asked recently to comment on the potential impacts of oil exploration in the regency.

ExxonMobil vows that oil gas success will help empower the Bojonegoro people

Local communities and administrations are questioning the social benefit of oil and gas exploration on the border between East and Central Java, three years after ExxonMobil Ltd began operations in the region. Villagers at each of the four exploration sites in Banyu Urip, Ngasem, and Bojonegoro have taken to the streets in protest at employment policies adopted by the Oil and Gas Implementing Agency (BP Migas).
They accuse BP Migas of underemploying local workers in local infrastructure development projects. Supporting the protests, local regency administrations have asked both BP Migas and ExxonMobil to give priority to local workers, in accordance with their skills. ExxonMobil spokeswoman Deva Rahman asked the public to consider the joint operating agreement carefully.
Saying she was shocked by the protests, Deva argued Pertamina and BP Migas were responsible for handling infrastructure development projects in the contract area. "Physical development is the domain of BP Migas. We handle oil and gas exploration," she told The Jakarta Post recently, adding ExxonMobil was strongly committed to its corporate social responsibility (CSR) program, including employing locals and empowering local partners and furthering investment in oil and gas exploration.
"Just as we do in other developing countries worldwide, ExxonMobil will help improve health, education and economic growth in and around our contract areas in the two provinces," she added.
The US-based energy holding company signed a joint operating agreement (JOA) with state-owned oil and gas company Pertamina for the Cepu contract area back in September 2005. According to the JOA, Pertamina and ExxonMobil each hold a 50% interest in the Block Cepu contract, with an eventual 10% holding by a regional entity representing the two provinces' administrations.
Two ExxonMobil subsidiaries, Mobil Cepu Ltd and Ampolex Cepu Ltd (MCL), are currently exploring the 1.670-square-kilometer oil and gas fields in Banyu Urip, Sukowati, Jambaran and Alas Tua. Discovered in March 2001, Banyu Urip is believed to contain more than 250 million barrels of oil, with the field expected to produce up to 165,000 barrels of oil per day, at peak production. MCL spokesman Primantoko said his company's corporate social responsibility program looks to improve health, education and economic growth in Bojonegoro regency. His company is in the midst of studying proposed development programs to help empower local communities in all regencies covered by MCL's core operations, he added.

SUKOWATI, JANGAN TERLENA DAN PASRAH

Mulai tahun 2000, sumur minyak Sukowati di Ds. Ngampel Kec. Kapas Bojonegoro mulai dieksplorasi. Sejak dimulai, sudah berhektar-hektar tanah pertanian dibeli PT Petro China dengan harga rata-rata Rp. 150 ribu per meter. Setiap tahun wilayah pertambangan semakin diperluas. Mau tak mau para petani merelakan tanahnya. Padahal, harga itu tak sebanding dengan dampak ekonomi dan kesehatan yang dihadapi masyarakat, setelah perusahaan beroperasi.
Diawal masuk, PetroChina telah melahirkan pro dan kontra diantara masyarakat karena alih fungsi lahan pertanian menjadi pertambangan. Sebagian besar masyarakat Sukowati yang memiliki lahan, bersedia menjual tanahnya kepada Petro China. Mereka tergiur imbalan uang. Akan tetapi ada juga warga yang keberatan melepas tanah mereka menjadi kawasan perluasan pengeboran minyak. Sayangnya, jumlah mereka lebih sedikit, sehingga tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah.
Salah seorang yang berkeberatan itu adalah Ibu Ramijah, 52 th, yang memiliki lahan seluas kurang lebih 8 ribu meter persegi. Jika saja bisa memilih, ia lebih senang mempertahankan tanahnya. “Tapi apa boleh buat, kalau cuma saya yang bertahan sendiri, tapi sawah-sawah disekitar saya sudah dijual kan sama saja. ” Jawab beliau pasrah.
Selain masalah lahan, warga juga khawatir terhadap peristiwa ledakan dan kebocoran pipa, seperti pada 29 Juli 2006. Kejadian diawali dengan bunyi ledakan keras dari pipa pengeboran yang bocor, diikuti terbakarnya ladang minyak dan keluarnya bau menyengat, seperti bau WC. Akibat ledakan Sabtu dini hari itu, pukul 00.45 WIB, membuat warga setempat panik. Ratusan warga mengungsi, 20 orang pingsan dan dilarikan ke RSUD Bojonegoro akibat menghirup bau menyengat dari sumur minyak tersebut.
Sebenarnya, warga lebih tidak tenang dengan kehadiran pengeboran itu, seperti yang diungkap Ramijah. “Setelah area ini dibuka menjadi area pengeboran, saya menjadi was-was. Setiap tidur saya menjadi tidak tenang. Karena takut kalau meledak lagi atau terbakar.”
Tahun lalu, 2 Desember 2008, terjadi lagi peristiwa serupa. Pipa gas di sumur pengeboran bocor. Meskipun tidak ada ledakan, bau menyengat seperti WC kembali tercium dan membuat warga panik. Bau tersebut membuat sesak nafas dan pusing.
Tak tahan bau menyengat, ratusan warga mengungsi ke kecamatan Kapas. Hingga dua hari setelah kejadian, lebih dari 40 warga menjadi korban. Kebanyakan mereka mengeluh pusing, mual, muntah dan sesak napas, bahkan ada yang pingsan. Beberapa diantaranya dilarikan ke rumah sakit.
Sayangnya, saat peristiwa berlangsung, pihak perusahaan terkesan tidak sigap, sebagaimana penuturan Ibu Ramijah. “Ketika meledak, kami sekeluarga langsung lari menuju ke Kapas. Di tengah jalan kami bertemu tetangga kami, dan kami ikut naik mobilnya mengungsi ke Kapas.” Pertanyaannya kemudian, dimana pihak Petro China saat itu, mengapa mereka tidak mengevakuasi warga?
Warga menuturkan, Ketika kejadian berlangsung, Petro China sama sekali tidak membantu proses evakuasi mereka Pegawai-pegawai  mereka sibuk menangani kejadian di kawasan pertambangan dan mengabaikan warga yang panik.
Memang dalam selang waktu lebih dari dua jam setelah kejadian, akhirnya PT. Petro China mengirim mobil patroli. Sayangnya, mobil bukan untuk membantu evakuasi warga, tapi hanya memberi pengumuman yang mencoba menenangkan warga. Mereka menyampaikan bahwa ledakan itu tak berbahaya. Warga diminta tenang.  Padahal saat yang sama, puluhan warga pingsan dan dilarikan di rumah sakit.

Gak Adil

Eksploitasi Wilayah Blok Cepu sudah setahun lebih dilaksanakan. Saat ini Produksinya baru mencapai 13.000 barel per hari, meleset dari proyeksi awal yang ditargetkan mencapai 20.000 barel pada pertengahan 2008. Adapun total produksi minyak selama ini baru mencapai 1 juta barel lebih.
Molornya target produksi minyak oleh Exxon Mobil, selaku operator, mengundang reaksi sejumlah pihak, termasuk pemerintah pusat yang diwakili oleh Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Pemerintah menilai Exxon Mobil tidak mampu merealisasikan proyeksi produksi yang disepakati bersama antara operator dan pemerintah dalam Join Operating Agreement (JOA).
Pemerintah berang karena melesetnya target produksi minyak Blok Cepu bisa mempengaruhi beberapa hal. Diantaranya tersendatnya pasokan kebutuhan energi minyak nasional, mengingat diproyeksikannya minyak Blok Cepu bisa memasok 30% kebutuhan energi minyak dalam negeri. Selain itu, kemunduran target produksi juga membuat biaya produksi (Cost Recovery) membengkak dan juga memperlambat penerimaan dana bagi hasil (DBH) oleh pemerintah daerah.
Bagi pusat, molornya target produksi minyak ini sangat merugikan. demikian halnya bagi Pemprop JawaTimur dan Pemkab Bojonegoro, mengingat sebagian besar lokasi sumur minyak berada disana. Semakin produksi mundur, semakin lambat mereka menerima DBH yang nilainya tentu besar.
namun bagi Warga Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Blora, kemunduran ini merupakan kesempatan untuk melakukan penataan ulang dan memperjuangkan perubahan mekanisme bagi hasil yang ternyata menyimpan masalah besar jika saat ini direalisasikan apa adanya.
BUMD

2011 Blok Cepu Lampaui Batas

Blok Cepu menunjukkan kinerja menggembirkan.  Hingga akhir Mei 2011,  produksi minyak Cepu berhasil melampaui target yang ditetapkan.     
Presiden Direktur Mobil Cepu Ltd Terry S. McPhail menyatakan,  sepanjang Januari-Mei 2011,  produksi minyak Cepu mencapai 21.300 barel per hari.   "Realisasi itu melebihi atas target 20 ribu barel per hari," ujarnya.  Realisasi tahun ini juga melebihi produksi tahun lalu yang sebesar 18.800 barel per hari.       
Menurut McPhail,  peningkatan produksi minyak Cepu ditunjang membaiknya kinerja pembeli minyak.   "Tahun depan target proyek masih sama dengan target 2011.  Itu sesuai dengan kapasitas fasilitas produksi," katanya.   
Saat ini,  kapasitas fasilitas produksi awal atau early production facility (EPF) memang baru 20 ribu barel per hari.   Fasilitas tersebut terdiri atas kilang Mudi sebesar 14.000 barel per hari dan kilang milik PT Tri Wahana Universal (TWU) dengan kapasitas 6 ribu barel per hari.     
Sebelumnya,  Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H.  Legowo menerangkan,  salah satu penyebab sulitnya menggenjot produksi minyak Cepu adalah kapasitas kilang TWU yang masih kecil.   Akibatnya,  TWU tidak bisa menyerap lebih banyak minyak hasil produksi Blok Cepu.     
"Dengan terbatasnya fasilitas produksi,  Blok Cepu belum bisa diandalkan (untuk meningkatkan produksi minyak nasional).   Saat ini,  produksinya masih sekitar 20 ribu barel per hari," paparnya.       
Bagi para pengguna via blackberry, info proyek dan detail tender lainnya dapat dilihat di versi web www.tender-indonesia.com.