Suara Blog Pinggiran

SUKOWATI, JANGAN TERLENA DAN PASRAH

Mulai tahun 2000, sumur minyak Sukowati di Ds. Ngampel Kec. Kapas Bojonegoro mulai dieksplorasi. Sejak dimulai, sudah berhektar-hektar tanah pertanian dibeli PT Petro China dengan harga rata-rata Rp. 150 ribu per meter. Setiap tahun wilayah pertambangan semakin diperluas. Mau tak mau para petani merelakan tanahnya. Padahal, harga itu tak sebanding dengan dampak ekonomi dan kesehatan yang dihadapi masyarakat, setelah perusahaan beroperasi.
Diawal masuk, PetroChina telah melahirkan pro dan kontra diantara masyarakat karena alih fungsi lahan pertanian menjadi pertambangan. Sebagian besar masyarakat Sukowati yang memiliki lahan, bersedia menjual tanahnya kepada Petro China. Mereka tergiur imbalan uang. Akan tetapi ada juga warga yang keberatan melepas tanah mereka menjadi kawasan perluasan pengeboran minyak. Sayangnya, jumlah mereka lebih sedikit, sehingga tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah.
Salah seorang yang berkeberatan itu adalah Ibu Ramijah, 52 th, yang memiliki lahan seluas kurang lebih 8 ribu meter persegi. Jika saja bisa memilih, ia lebih senang mempertahankan tanahnya. “Tapi apa boleh buat, kalau cuma saya yang bertahan sendiri, tapi sawah-sawah disekitar saya sudah dijual kan sama saja. ” Jawab beliau pasrah.
Selain masalah lahan, warga juga khawatir terhadap peristiwa ledakan dan kebocoran pipa, seperti pada 29 Juli 2006. Kejadian diawali dengan bunyi ledakan keras dari pipa pengeboran yang bocor, diikuti terbakarnya ladang minyak dan keluarnya bau menyengat, seperti bau WC. Akibat ledakan Sabtu dini hari itu, pukul 00.45 WIB, membuat warga setempat panik. Ratusan warga mengungsi, 20 orang pingsan dan dilarikan ke RSUD Bojonegoro akibat menghirup bau menyengat dari sumur minyak tersebut.
Sebenarnya, warga lebih tidak tenang dengan kehadiran pengeboran itu, seperti yang diungkap Ramijah. “Setelah area ini dibuka menjadi area pengeboran, saya menjadi was-was. Setiap tidur saya menjadi tidak tenang. Karena takut kalau meledak lagi atau terbakar.”
Tahun lalu, 2 Desember 2008, terjadi lagi peristiwa serupa. Pipa gas di sumur pengeboran bocor. Meskipun tidak ada ledakan, bau menyengat seperti WC kembali tercium dan membuat warga panik. Bau tersebut membuat sesak nafas dan pusing.
Tak tahan bau menyengat, ratusan warga mengungsi ke kecamatan Kapas. Hingga dua hari setelah kejadian, lebih dari 40 warga menjadi korban. Kebanyakan mereka mengeluh pusing, mual, muntah dan sesak napas, bahkan ada yang pingsan. Beberapa diantaranya dilarikan ke rumah sakit.
Sayangnya, saat peristiwa berlangsung, pihak perusahaan terkesan tidak sigap, sebagaimana penuturan Ibu Ramijah. “Ketika meledak, kami sekeluarga langsung lari menuju ke Kapas. Di tengah jalan kami bertemu tetangga kami, dan kami ikut naik mobilnya mengungsi ke Kapas.” Pertanyaannya kemudian, dimana pihak Petro China saat itu, mengapa mereka tidak mengevakuasi warga?
Warga menuturkan, Ketika kejadian berlangsung, Petro China sama sekali tidak membantu proses evakuasi mereka Pegawai-pegawai  mereka sibuk menangani kejadian di kawasan pertambangan dan mengabaikan warga yang panik.
Memang dalam selang waktu lebih dari dua jam setelah kejadian, akhirnya PT. Petro China mengirim mobil patroli. Sayangnya, mobil bukan untuk membantu evakuasi warga, tapi hanya memberi pengumuman yang mencoba menenangkan warga. Mereka menyampaikan bahwa ledakan itu tak berbahaya. Warga diminta tenang.  Padahal saat yang sama, puluhan warga pingsan dan dilarikan di rumah sakit.
Pasca kebocoran, memang warga menerima ganti rugi sebesar Rp. 150 ribu per orang. Sebagian besar warga merasa cukup dengan ganti rugi tersebut. Tapi bernarkah uang itu sepadan dengan dampak jangka panjang?
Padahal, beberapa pustaka menyebutkan, gas yang bocor itu termasuk gas Hydrogen Sulfida (H2S). Gas ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Ia berbau menyengat (busuk), bersifat racun, tidak terlihat, dapat meledak, karena lebih berat dari udara dan menyebabkan iritasi. Gas ini bisa mengganggu saluran pernapasan, menyebabkan iritasi mata, serta mangganggu kinerja saraf. Ketika terhirup dan masuk paru-paru, Akibatnya akan menghalangi pengikatan oksigen oleh darah, sehingga mengganggu pembentukan energi manusia. Terpapar H2S terus menerus, dapat menyebabkan rusaknya saraf, terutama indra penciuman. Pada tingkat keracunan tinggi, bisa menyebabkan kematian manusia.
Warga disekitar Sukowati, harusnya mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh akibat paparan gas H2S ini. Diantaranya,
1) Waktu paparan, yaitu berapa lama seseorang menghirup gas tersebut;
2) Frekuensi, yaitu seberapa sering seseorang terpapar;
3) Intensitas, artinya seberapa banyak konsentrasi yang terpapar;
4) Kerentanan seseorang, artinya setiap orang memiliki kerentanan berbeda tergantung usia dan daya tahan tubuhnya. Ambang batas paparan gas H2S yang diizinkan pada daerah penambangan minyak adalah 10 ppm. Jika melebihi aangka itu, gas H2S dapat menjadi sangat berbahaya.
Sayangnya, pengetahuan diatas tampaknya belum dimiliki warga Sukowati. Sehingga mereka tidak sadar seberapa besar dampak yang  terjadi nantinya, jika mereka tidak berhati-hati dan waspada.
Pengetahuan masyarakat Sukowati terhadap daya rusak pertambangan migas harus ditingkatkan. Mereka membutuhkan informasi lebih banyak terkait resiko-resiko negatif pengeboran minyak disana. Sehingga mereka dapat melakukan pengawasan dan pencegahan secara mandiri.
Hal ini akan membuat mereka mampu melakukan kontrol terhadap kegiatan pengeboran disana. Sehingga pihak PT Petro China lebih berhati-hati dan tidak ceroboh. Apalagai mengingat pemerintah tidak terlalu peduli dengan kondisi meraka.
Sudah 9 tahun sumur pengeboran Sukowati dibuka. Tapi masih dijumpai jalan-jalan belum diaspal di perkampungan sekitarnya, juga rumah-rumah papan kayu dan semi permanen. Perusahaan memang membangun jalan aspal, tapi itu lebih banyak dipakai untuk kepentingan sendiri. Kondisi ini bagai bumi dengan langit, jika melihat keuntungan yang tercantum dalam  situs maya perusahaan. Sejak 2005 – 2006, mereka meraup laba US$ 150 juta. Itu setara Rp. 1,5 Trilyun.